SINAR matahari begitu terik siang itu. Debu beterbangan tanpa mampu terhalau. Riuh rendah suara kendaraan bersahutan dengan obrolan orang-orang di jalan. Semua bergegas melintasi jalur ganda kereta api antara Jalan Pal Meriam dan Jalan Kayu Manis, Matraman, Jakarta Timur. Ketergesaan ini masuk akal mengingat tidak ada portal penghalang rel tersebut dengan jalan di kedua sisi sehingga pengguna jalan berisiko hilangnya nyawa karena tersambar kereta.
Di pinggir rel, seorang pria asyik nongkrong sambil memainkan peluit. Kaos dan celananya tampak lusuh berkalang debu, demikian juga sandal jepit yang dikenakannya. Sepasang kacamata hitam dan dua helai topi yang dipakai bertumpuk melengkapi penampilannya, sekaligus menjadi senjata penghalau panas.
Saat suara kereta terdengar dari kejauhan, Iyang, demikian ia biasa disapa, sontak bangun. Ia memasang bambu sebagai penghalang di mulut jalan menuju perlintasan. Para pengendara pun dengan tertib menunggu.
Sehari-hari, pria 67 tahun itu memang mangkal sebagai penjaga perlintasan kereta api tidak resmi. Iyang memilih pukul 11.00-17.00 sebagai masa kerjanya. Sementara pagi dan malam hari, ada beberapa orang lagi yang melakoni peran tersebut.
"Kalau siang begini, mana ada yang mau jaga. Enggak ada yang kuat," ungkap Iyang, saat berbincang dengan Okezone.
Untuk mengisi waktu, Iyang menyibukkan diri dengan menghancurkan batu hingga menjadi kerikil kecil. "Buat nambal lintasan supaya orang (pengendara) bisa lewat. Kalau hujan kan longsor," ucap Iyang.
Bertahun-tahun melakoni profesi tersebut, Iyang mengaku kesal karena warga hanya lewat tanpa mau merawat. Para pelintas pun sering mengabaikan larangannya untuk berhenti sejenak. Bahkan, kata Iyang, ada pejalan kaki yang asyik bermain ponsel pintar meski kereta sedang mendekat.
"Tiba-tiba (kereta) deket gimana? Emang suka gitu orang-orang, mah," katanya.
Sehari-hari, Iyang menyambung hidup dari sumbangan orang-orang yang melintas. Ember bekas cat 1 kilogram ia gantung di salah satu sisi pintu agar orang tidak perlu repot menghampirinya.
"Pak, ini," kata seorang perempuan sembari memberi selembar uang Rp2.000 kepadanya.
Perempuan memang seperti pahlawan bagi Iyang. "Panas-panas begini sedikit yang ngasih, kecuali perempuan," katanya.
Insting dan Pendengaran Jadi Modal Utama (Hal. 2)
Baca Juga: Peringati Hari Lahir Pancasila, Pengawas KKP Lakukan Upacara Bawah Laut