SIANG itu, Musa Dadap harus mengawal rombongan 'Tuan Raja Mude' untuk mendapatkan sang pengantin wanita atau 'Tuan Putri'. Sayangnya, perjalanan itu harus terhenti lantaran diadang seorang jawara dari mempelai wanita.
Dari kejauhan salah seorang pria dalam rombongan keluar dan berkata, "Bang aye semua datang kemari, seluruh nampan udah diisi dodol sama uli buat diserahin ke Mpok Putri calon bini, jadi boleh dong rombongan kita masuk,"
"Bang tiap hutan ada harimaunya, tiap kampung ada jagoannya, kalau abang mau lihat pengantinnya lawan dulu aye punya jawara ini bang,".
Aksi balas pantun ini terjadi saat tradisi palang pintu Betawi yang dilakukan Sanggar Serumpun Padi, salah satu kelompok budaya yang masih aktif melestarikan tradisi Palang Pintu di bawah pimpinan Musa Dadap, saat mengisi sebuah acara pernikahan warga Betawi asli di wilayah Ciganjur, Jakarta Selatan.
Tradisi palang pintu merupakan sebuah kesenian Betawi yang merupakan paduan antara silat dan juga pantun. Palang pintu hadir menjadi salah satu rangkaian dalam pernikahan orang Betawi. Di sini, setiap pengantin pria akan mendapat tantangan dari mempelai wanita untuk menguji kepiawaian bela diri dan juga kepandaian dalam mengaji.
Sebenarnya, tak ada bukti sahih sejak kapan tradisi palang pintu bermula. Akan tetapi, tokoh Betawi, Pitung (1874-1903) ternyata telah menjalani tradisi ini saat hendak memperistri Aisyah, yang merupakan putri jawara berjuluk 'Macan Kemayoran', Murtadho.
Istilah palang pintu di kalangan masyarakat Betawi diartikan sebagai menghalangi orang lain yang akan memasuki daerah tertentu, di mana suatu daerah memiliki jawara alias pendekar yang siap mengadang. Palang pintu lazimnya muncul saat acara perkawinan atau besanan.
Atraksi ini dilakukan dengan saling adu seni beladiri (pencak silat) yang melibatkan pihak mempelai laki-laki agar bisa diterima sebagai keluarga oleh pihak mempelai wanita. Tak sekadar beladiri, pihak mempelai laki-laki juga dituntut paham ilmu agama seperti pandai membaca Alquran alias mengaji.
"Secara filosofis itu prosesi penerimaan orangtua calon pengantin atas lamaran dari pihak laki-laki," ujar Musa saat ditemui Okezone belum lama ini.
Sayangnya, seiring dengan majunya perkembangan zaman, tak jarang masyarakat mulai menanggalkan tradisi ini, bahkan generasi muda Betawi belum tentu memahami apa itu makna tradisi dari palang pintu dengan melupakan begitu saja.
Dalam pernikahan misalnya kata Musa, tidak banyak yang menjalankan tradisi ini padahal, pada zaman dulu setiap calon pengantin laki-laki diharuskan membawa beraneka ragam hasil bumi mereka seperti beras, bumbu masak, uang yang dimasukkan kedalam sebuah dandang besar untuk diserahkan kepada calon pengantin perempuan.
"Dandang itu kemudian diterima dan dibawa centengnya (jawaranya calon perempuan-red) pakai kain yang diikat ke dandang untuk dibuka oleh sang jawara dari pihak laki-laki sebagai syarat sebelum menerima calon pengantin pria, dan terjadilah pertarungan yang disebut sebagai palang pintu," tuturnya.
Bahkan saking sakralnya, calon pengantin pria belum tentu bisa mendapatkan pujaan hatinya sebelum melewati proses itu. Sebab setiap jawara yang bertarung dalam prosesi palang pintu, bukan tim seperti sekarang yang sudah diatur sehingga pasti dapat pengantin.
"Dulu berbeda, jadi benar-benar enggak kenal centengnya kalau kalah baru bisa masuk (rumah pengantin wanita). Kalau kalah pihak laki, bisa ditolak bisa juga ya udah diterima dengan kebijakan tertentu, tapi banyak sudah meninggalkan itu," katanya menjelaskan.
Seiring berjalannya waktu, tradisi palang pintu mengalami banyak perubahan dan menyesuaikan perkembangan zaman. Kini, selain prosesi pernikahan tradisi palang pintu kerap mengisi ruang-ruang acara seperti penyambutan tamu pejabat, peresmian sebuah acara dan lain sebagainya.
Menjaga Tradisi
Sejak kecil, Musa sudah dikenalkan dengan tradisi ini. Sebelum palang pintu yang memadukan dengan pantun, para leluhurnya kerap melatih anggotanya dengan silat atau para leluhur menyebut sebagai latihan 'main pukul' yang juga dikenal sebagai 'silat koplek' dan dianggap sebagai warisan asli Kampung Setu, Ciganjur, Jakarta Selatan.
"Dulu kita enggak ada nama (sanggar) latihan aja 'main pukul', kalau nama Sanggar Serumpun Padi ini baru jalan 3 tahun tapi kalau permainan adu pukul atau kita nyebutnya silat koplek dari saya kelas 4 SD udah main koplek karena warisan leluhur," tuturnya.
Sanggar ini kata Musa, hadir saat dirinya mendapat amanah untuk menjaga tradisi tersebut. Dari sekian banyak murid yang dilatih para pendahulunya itu hanya Musa yang masih aktif untuk menjaga tradisi ini. Bahkan Ia dulu rela untuk membohongi orang tuanya dengan mengaku sekolah untuk latihan silat koplek tersebut hingga berdirilah sanggar seperti sekarang.
Baca Juga: Dukung Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Morowali Hibahkan Tanah ke KKP