JAKARTA- Masyarakat Betawi memiliki banyak kesenian daerah dan beberapa cerita rakyat melegenda, Salah satunya si Jampang. Jago silat yang dianggap sebagai simbol kesalehan, kegigihan dan berani melawan penjajah Belanda.
(Baca juga: Mengenal Abuya Syar'i, Ulama Kharismastik Berusia 154 Tahun Pemegang Golok Ciomas)
Dilansir dari portal resmi Provinsi DKI Jakarta, Selasa (22/6/2021) Jampang lahir di desa Jampang, Sukabumi Selatan. Ayahnya keturunan asli Banten, dan ibunda berasal dari Jampang.
Paman si Jampang iba melihat dirinya kala itu yatim piatu membawanya hijrah dari Sukabumi ke Grogol, Depok. Dirinya diasuh selayaknya anak kandung oleh sang paman. Selama tinggal bersama pamannya, si Jampang menimba ilmu mengaji dan mempelajari ilmu bela diri silat. Kemudian Jampang dibawa ke Cianjur untuk lebih memperdalam silat dan ilmu kebatinan.
(Baca juga: Horor! Ada Unsur Mistis dan Roh Halus di Balik Pengamen Ondel-ondel)
Setelah mahir si Jampang kembali ke Depok dengan berjalan kaki dari Cianjur ke Bogor dan menumpang kereta dari Bogor menuju sampai ke Batavia. Melihat kepulangannya ke Depok, paman sangat senang. Jampang diberikan mandat untuk tetap mendalami ilmu agama sehingga pandai mengaji.
Beranjak dewasa, Jampang memutuskan untuk hidup sediri dan pindah ke Batavia. Dibantu oleh kerabat pamannya, ia tinggal di Kebayoran Lama. Dalam perantauannya si Jampang dia diajak berdagang di pasar Tanah Abang dan berkebun.
Jampang hidup di masa kolonial Belanda di mana para tuan tanah berkuasa, diapit oleh centeng yang menagih pajak dan terkadang menindas. Bagi yang tak mampu membayar pajak, si centeng tak segan mengambil paksa barang atau hartanya.
Melihat fakta tersebut Jampang berniat untuk menantang centeng meski tertehan oleh ingatan perkataan guru dan pamannya untuk tidak menggunakan ilmunya secara sembarang. Jampang juga memikirkan nasib mamang yang ia tumpangi hidup.
Dalam perantauannya Jampang bertemu pujaan hatinya di Kebayoran Lama dan memutuskan menikah, lalu dikaruniai seorang anak. Jampang diberi amanat oleh ayah mertuanya untuk mengelola sebidang tanah bersama istrinya dan menanaminya dengan padi, kelapa dan kacang. Hasil kerja kerasnya itu ia jual ke pasar Tanah Abang.
Saat usia anaknya menginjak 4 tahun, sang istri sakit keras dan meninggal dunia kemudian menitipkan anaknya ke mertua. Timbul niat Jampang untuk merampas kembali harta milik tuan tanah.
Setelah dipikir, Jampang sungguh tidak bisa terima atas perbuatan tuan tanah yang semena-mena mengambil harta tetangga, termasuk mertuanya. Atas banyak pertimbangan Jampang memutuskan merampas kembali harta milik masyarakat yang diambil para tuan tanah.
Dengan mengendap, ia masuk ke rumah Belanda itu dan menggasak harta kemudian membagikan pada para warga. Bukannya mereda, aksi pengambilan barang warga yang tidak membayar pajak justru berubah menjadi lebih sadis.
Baca Juga: Dukung Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Kabupaten Morowali Hibahkan Tanah ke KKP